Khamis, 27 Januari 2011

‘ABDULLAH BIN JAHSY AL ASADY


(Orang pertama bergelar Amirul Mukminin)

Sahabat yang kita bicarakan ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang erat dengan Rasulullah saw. Dia termasuk kelompok orang-orang yang pertama masuk Islam (As Sabiqunal Awwalun). Dia putera bibi Rasulullah, Umai,uah binli Abdul Muihihalib. Di samping itu dia ipar Rasulullah. Karena saudara perempuannya, Zainab hush Jahsy, isteri Nabi saw., salah seorang ibu orang-orang mukmin (Ummahatul Mu ‘rninin).

Dia orang pertama dipercayai Rasulullah membawa petaka (bendera) Islam pertama. Dia pulalah orang perta ma yang dipanggilkan “Amirul Mu’minin.”

Nama lengkapnya “ABDULLAH BIN JAHSY AL ASADY”

‘Abdullah bin Jahsy Al Asady masuk Islam sebelum Rasulullah saw. masuk ke rumah Al Arqam. Rumah itu menjadi terkenal, karena ketika pemeluk Islam masih dapat dihitung dengan jan, Rasulullah sering berkumpul di sana dengan para sahabat yang seiman. Karena itu jelas ‘Abdullah termasuk kelompok pertama orang-orang yang masuk Islam.

Ketika Rasulullah mengizinkan para sahabat hijrah ke Madinah, ‘Abdullah bin Jahsy tercatat sebagai orang kedua yang hijrah. Yaitu sesusah Abu Salamah. Mereka hij rah menyelamatkan agama dan diri mereka dari tekanan dan penganiayaan kaum, kafir Quraisy. Mereka hijrah ke pada Allah dan karena Allah. Untuk itu ditinggalkannya famili, karib kerabat, harta kekayaan dan kampung hala man yang dicintainya, karena mereka lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Bagi ‘Abdullah bin Jahsy, hijrah ke Madinah bukanlah merupakan pengalaman baru. Karena sebelum itu dia telah pernah hijrah ke Habsyah beserta sebagian keluarga nya Kali ini dia hijrah lebih lengkap dan menyeluruh. Dia hijrah ke Madinah beserta isteri, anak-anak, saudara saudaranya sebapak, laki-laki dan perempuan, tua muda, dan anak-anak. Rumah tangganya adalah rumah tangga Islam dan kabilahnya kabilah Islam.

Setelah mereka keluar dan Makkah, kampung hala man rnereka yang ditinggal kelihatan sedih dan memilukan. Sunyi dan hampa bagaikan tak pernah didiami. Tidak terdengar lagi di sana suara anak-anak dan orang bercakap -cakap.

Belum begitu jauh mereka meninggalkan Makkah, para pembesar Quraisy patroli keliing kota memeriksa keadaan dan siapa di antara kaum muslimin yang hijrah. Para pembesar yang turut memeriksa itu antara lain Abu Jahil dan ‘Utbah bin Rabi’ah.

‘Utbah menengok perkampungan Banu Jahsy. Dia melihat pintu-pintu rumah bagaikan meratap menghempas-hempaskan diri ditiup angin. Anginpun turut menangis menyanyikan lagu sunyi ditinggalkan penduduk yang biasa ceria dalam kedamaian.

“Perkampungan Bani Jahsy meratap sunyi ditinggalkan penduduknya,” kata ‘Utbah kepada Abu Jahil.

“Mari kita periksa!” kata Abu Jahil

Abu Jahil masuk ke rumah ‘Abdullah bin Jahsy. Rumahnya terhitung paling bagus dan dia terbilang penduduk terkaya. Melihat harta yang banyak ditinggal begitu saja oleh ‘Abdullah bin Jahsy, timbul tamak Ab Jahil. Diambilnya harta itu semua, dirampasnya menjadi miliknya. Tak ketinggalan pula harta keluarga yang lain-lain, saudara saudara ‘Abdullah bin Jahsy.

Ketika ‘Abdullah mendengar kabar perbuatan Abu Jahil yang terkutuk itu, dia mengadu kepada Rasulullah.

“Tidak relakah engkau, hai ‘Abdullah? Allah menggantinya dengan rumah yang lebih baik di surga?”, jawab Rasulullah.

“Tentu saja rela, ya Rasulullah!” kata ‘Abdullah. “Nah.. itulah untukmu!” kata Rasulullah meyakinkan. Maka sejuklah hati ‘Abdullah.

‘Abdullah bin Jahsy merasa tenteram tinggal di Madinah, setelah ditempa dengan berbagai penderitaan selama hijrah ke Habsyah. Dia merasa damai bersama saudara-sau dara se-Islam, kaum Anshar, setelah mengalami tekanan dan penganiayaan di tengah-tengah bangsanya sendiri, kaum Quraisy. Walaupun harus bekerja keras untuk mem pertahankan hidup beserta keluarga besarnya, namun dia selalu gembira dan bersemangat. Tetapi sayang hal itu tidak lama dinikmatinya. Allah Ta’ala masih mengujiya dengan ujian yang paling berat sejak dia masuk Islam. Murtadkah dia karena ujian itu? Kembalikah dia kepada agama nenek moyangnya? Marilah kita simak kisahnya menerima cobaan yang pahit itu.

Rasulullah saw. memilih delapan orang yang dipandang cakap untuk membentuk ‘askar (pasukan tentara). Yaitu sebagai langkah pertama pembangunan tentara Islam. Di antara mereka terpilih ‘Abdullah bin Jahsy dan Sa’ad bin Abi Waqqash.

Dalam pengarahannya Rasulullah mengatakan, “Angkatlah orang yang paling sabar menderita haus dan lapar di antara kalian untuk menjadi “Amir” (komandan)!”

Mereka sepakat mengangkat ‘Abdullah bin Jahsy menjadi Amir. Sebuah bendera diikatkan Rasulullah dengan tangan beliau pada tangkainya, kemudian diserahkannya kepada “Abdullah bin Jahsy dengan resmi. Itulah bendera pertama dalam Islam. Dan ‘Abdullah bin Jah sy orang pertama pula dipercaya membawa bendera itu.

Sesuai dengan jabatan dan tugasnya melola perta hanan, keamanan dan ketertiban kaum muslimin, maka dia digelari “Amir”. Karena itu di apulalah orang per tamd bergelar “Amirul Mu’Minin I)

Pada suatu hari setelah dia dilantik menjadi Amir, Rasulullah menugaskan ‘Abdullah dan pasukannya dengan sebuah Surat Perintah melakukan expedisi (patroli) dengan tugas pengintaian. Beliau melarang membuka Surat Perintah tersebut, melainkan sesudah dua hari perjalanan. Setelah dua hari perjalanan, ‘Abdullah membuka Surat Perintah dan membaca:

1) Dalam riwayat lain. orang yang pertama diserahi membawa bendera Islam ia Hamzah bin Abdul Muthathalib, paman Rasulullah.

“Bila engkau membaca surat ini, terus berjalan sampai ke Makkah, antara Thaif dan Makkah. Amati dengan seksama gerak-gerik kaum Quraisy, dan segera melapor kepada kami!”

“Saya dengar dan saya patuh, hai Nabi!” kata ‘Abdullah selesai membaca surat tersebut.

Maka dikumpulkannya anggota pasukannya seraya berkata, “Rasulullah memerintahkan saya pergi ke Makkah. Kita diperintahkan melakukan pengintaian terhadap kuam Quraisy, mengamat-amati gerak-gerik mereka dengan saksama, dan senantiasa melapor kepada beliau. Beliau melarang saya memaksa kalian. Karena itu siapa ingin syahid, silakan terus menyertai saya dalam tugas ini, dan siapa takut, pulanglah sekarang! Kalian tidak akan dihukum atau disakiti.”

“Segala perintah kami dengar dan kami patuhi, ya Rasulullah! Kami terus menyertai Anda sesuai dengan perintah Rasulullah!” jawab mereka serentak dan bersema ngat.

Tiba di Nakhlah mereka langsung memeriksa medan dan menyiapkan pos pengintaian. Kemudian ‘Abdullah membagi-bagi tugas untuk mengintai dan mengamat amati kegiatan kaum Quraisy.

Sementara mereka bersiap-siap demikian, tiba-tiba terlihat di kejauhan sebuah kafilah Quraisy terdiri tempat orang. Yaitu ‘Amr bin Hadhramy, Hakam bin Kaysan, ‘Utsman bin ‘Abdullah, dan saudaranya Al Mughirah. Mereka membawa barang dagangannya seperti kulit, anggur, dan sebagainya, yaitu barang-barang yang biasa diperdagangkan kaum Qiraisy.

‘Abdullah bin Jahsy bermusyawarah dengan pasukan nya, apakah kafilah itu akan diserang atau tidak. Hari itu adalah hari terakhir bulan Haram. Jika kafilah itu diserang, berarti mereka menyerang dalam bulan Haram. maka berarti pula melanggar kehormatan bulan Haram, dan mengundang kemarahan seluruh bangsa Arab. Jika mereka dibiarkan lewat, mereka masuk ke Tanah Haram (Makkah); berarti membiarkan mereka masuk ke tempat aman, karena disana dilarang berperang.

Akhirnya mereka memutuskan untuk menyerang dan merampas harta mereka. Mereka berhasil menewaskan seorang anggota rombongan Quraisy. Dua orang tertawan dan seorang lagi meloloskan diri.

‘Abdullah bin Jahsy dan pasukannya membawa tawan an dan harta rampasan ke Madinah. Setelah mereka tiba di hadapan Rasulullah, ternyata beliau tidak membenarkan tindakan mereka. Beliau marah karena mereka bertindak di luar perintah (tidak disiplin).

“Demi Allah! Saya tidak memerintahkan kalian menyerang, merampas, menawan, apalagi membunuh. Saya memerintahkan mencari berita mengenai orang-orang Qu raisy, mengamat-amati gerak-gerik mereka, kemudian melaporkannya kepada saya,” kata Rasulullah marah.

Rasulullah menangguhkan putusan mengenai kedua tawanan dan harta rampasan. Beliau tidak mengusiknya sementara menunggu putusan dan Allah. “Abdullah bin

2) Bulan Haram ialah bulan Dzi Qaidah, DzuI Hijjah, Muharram, dan Rajab. Dalam bulan-bulan tersebut orang Arab dilarang (haram) berperang. Jahsy dan pasukan diberhentikan. Mereka jelas bersalah karena tidak disiplin, dan bertindak di luar perintah Rasulullah. Hukuman itu menyebabkan mereka serba sulit. Kaum muslimin mencela mereka, sehingga mereka merasa dipencilkan. Kedamaian yang dinikmati ‘Abdullah sejak hijrah ke Madinah, kini bertukar dengan kegelisahan, kesedihan, penyesalan dan rasa tertekan. Bila berpapasan dengan kaum muslimin, mereka berkata mencemooh, “Inikah dia yang melanggar perintah Rasullullah ?“

Kesedihan dan penyesalan semakin mencekam ketika mereka ketahui kaum Quraisy mengambil kesempatan dari kasus tersebut. Orang-orang Quraisy meningkatkan tekanan mereka terhadap Rasulullah. Mereka menggembar-gemborkan di kalangan kabilah-kabilah Arab: “Muhammad menghalalkan bulan Haram.. Muhammad me numpahkan darah dalam bulan Haram. Muhammad merampas dan menawan....”

‘Abdullah menyadari, karena kecerobohannya dia telah memberikan senjata yang ampuh kepada kaum Qu raisy untuk merangkul kabilah-kabilah Arab bersimpati kepada mereka untuk memusuhi Rasulullah dan kaum muslimin. Bahkan dapat mengundang agresi mereka secara fisik. -

Tidak dapat dibayangkan bagaimana beratnya beban moril yang ditanggung ‘Abdullah bin Jahsy dan kawan kawan. Dia terjepit antara kawan dan lawan. Allah menguji imannya kembali dengan ujian yang tidak ringan, sampai ujian itu mencapai titik tertentu yang ditetapkan Allah. Namun begitu imannya tidak goyang. Dia selalu tobat dan istighfar kepada Allah Ta’ala. Setelah ujian itu sampai di puncaknya, padahal mereka senantiasa tobat dan istighfar, maka Allah memberi kabar gembira melalui Nabi-Nya. Allah mengampuni tindakan mereka dengan menurunkan wahyu kepada Rasulullah:

Mereka hertanya kepadainu perihal berperang pada bulan Haram. Katakanlah: Berperang dalam bulan Haram adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, menghalangi masuk Masjidil Haram dan mengusir pendnduk dari sekitarnya, lebih besar dosanya di sisi Allah. Dan membuat fiitnah lebih besar dosanya daripada memunuh. Mereka tidak akan henti-hentinya memerangi kamu sampai meeka berhasil mengembalikan kamu kepada kekafiran. seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dan agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran. maka mereka itulah orang yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. “ (Al-Baqarah, 21).

Sesudah ayat yang mulia itu turun, tenanglah hati Rasulullah. Harta rampasan disita untuk Baitul Mal. Kedua tawanan diminta wang tebusan. Beliau menyatakan setuju dengan tindakan ‘Abdullah bin Jahsy dan kawan-kawan, sesuai dengan ketentuan Allah.

Karena kasus mereka merupakan kasus besar dalam kehidupan kaum Muslimin, maka rampasan tercatat dalam sejarah Islam sebagai rampasan pertama. Musuh yang mereka tewaskan, kaum musyrik pertama yang tertumpah darahnya di tangan kaum muslimin. Tawan an mereka adalah tawanan pertama yang jatuh ke tangan kaum muslimin. Bendera pasukan mereka, bendera pertama yang diikatkan Rasulullah saw., yaitu bendera Islam. Amir (komandan) pasukan, ‘Abdullah bin Jahsy, orang pertama dipanggilkan “Amirul Mu’minin.”

Tidak berapa lama kemudian terjadi perang Badar. Ujian bagi ‘Abdullah bin Jahsy agaknya belum selesai. Dia cidera dalam perang tersebut. Sesudah itu menyusul pula perang Uhud. Suatu peristiwa yang dialami ‘Ab dullah dengan sahabatnya Sa’ad bin Abi Waqqash, merupakan kenang-kenangan yang tak dapat mereka lupakan dalam peperangan ini. Marilah kita simak cerita Sa’ad yang mengisahkan pengalamannya dengan ‘Abdullah.

Kata Sa’ad, “Ketika terjadi perang Uhud, ‘Abdullah bin Jahsy menemui saya seraya bertanya, “Tidak mendo’akah engkau?”

“Tentu...! “jawabku.

Kami berpencil ke sebuah pojok, lalu saya mendo’a:

“Ya, Rabbi! Jika saya bersua musuh, persuakanlah saya dengan orang yang .sangat jahat dan buas. Saya akan bertempur melawannya. Berilah saya kemenangan, sehingga dia tewas di tangan saya dan kurampas perlengkapannya.” -

‘Abdulllah bin Jahsy mengaminkan do’a saya. Kemu dian dia mendo’a pula;

‘Wahai Allah! Berilah saya rezki seorang musuh yang sangat jahat dan buas. Saya akan melawannya demi Engkau, tetapi kemudian dia kembali menewaskan saya. Kemudian dipotongnya hidung dan telinga saya. Bila esok saya menemui Engkau, Engkau bertanya kepada saya,





“Mengapa hidung dan telingamu buntung, hai ‘Abdul lah?” Saya menjawab, “Karena membela Agama dan Rasul Engkau!” Lalu Engkau berkata, “Shadaqta... (engkau benar).”

Kata Sa’ad selanjutnya, “Do’a ‘Abdullah bin Jahsy lebih bagus daripada do’a saya. Saya temui dia petang hri, kudapati dia telah tewas sesuai dengan do’anya. Hidung dan telinganya buntung dan digantungkan orang pada sebatang pohon dengan seutas tali.”

Allah Ta’ala memperkenankan do’a ‘Abdullah bin Jahsy. Allah memuliakannya sebagai syahid, berbareng an dengan pamannya Sayyidus Syuhada, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib. Rasulullah menguburkan mereka berdua dalam satu kuburan. Air mata Rasulullah yang suci mengalir menyirami kubur mereka, menambah harumnya darah syahid yang tertumpah melumuri jasad.

Radhiyallahu ‘anhuma. Amin!!!

“Bila engkau membaca surat ini, terus berjalan sampai ke Makkah, antara Thaif dan Makkah. Amati dengan seksama gerak-gerik kaum Quraisy, dan segera melapor kepada kami!”

“Saya dengar dan saya patuh, hai Nabi!” kata ‘Abdullah selesai membaca surat tersebut.

Maka dikumpulkannya anggota pasukannya seraya berkata, “Rasulullah memerintahkan saya pergi ke Makkah. Kita diperintahkan melakukan pengintaian terhadap kuam Quraisy, mengamat-amati gerak-gerik mereka dengan saksama, dan senantiasa melapor kepada beliau. Beliau melarang saya memaksa kalian. Karena itu siapa ingin syahid, silakan terus menyertai saya dalam tugas ini, dan siapa takut, pulanglah sekarang! Kalian tidak akan dihukum atau disakiti.”

“Segala perintah kami dengar dan kami patuhi, ya Rasulullah! Kami terus menyertai Anda sesuai dengan perintah Rasulullah!” jawab mereka serentak dan bersema ngat.

Tiba di Nakhlah mereka langsung memeriksa medan dan menyiapkan pos pengintaian. Kemudian ‘Abdullah membagi-bagi tugas untuk mengintai dan mengamat amati kegiatan kaum Quraisy.

Sementara mereka bersiap-siap demikian, tiba-tiba terlihat di kejauhan sebuah kafilah Quraisy terdiri tempat orang. Yaitu ‘Amr bin Hadhramy, Hakam bin Kaysan, ‘Utsman bin ‘Abdullah, dan saudaranya Al Mughirah. Mereka membawa barang dagangannya seperti kulit, anggur, dan sebagainya, yaitu barang-barang yang biasa diperdagangkan kaum Qiraisy.

‘Abdullah bin Jahsy bermusyawarah dengan pasukan nya, apakah kafilah itu akan diserang atau tidak. Hari itu adalah hari terakhir bulan Haram. Jika kafilah itu diserang, berarti mereka menyerang dalam bulan Haram. maka berarti pula melanggar kehormatan bulan Haram, dan mengundang kemarahan seluruh bangsa Arab. Jika mereka dibiarkan lewat, mereka masuk ke Tanah Haram (Makkah); berarti membiarkan mereka masuk ke tempat aman, karena disana dilarang berperang.

Akhirnya mereka memutuskan untuk menyerang dan merampas harta mereka. Mereka berhasil menewaskan seorang anggota rombongan Quraisy. Dua orang tertawan dan seorang lagi meloloskan diri.

‘Abdullah bin Jahsy dan pasukannya membawa tawan an dan harta rampasan ke Madinah. Setelah mereka tiba di hadapan Rasulullah, ternyata beliau tidak membenarkan tindakan mereka. Beliau marah karena mereka bertindak di luar perintah (tidak disiplin).

“Demi Allah! Saya tidak memerintahkan kalian menyerang, merampas, menawan, apalagi membunuh. Saya memerintahkan mencari berita mengenai orang-orang Qu raisy, mengamat-amati gerak-gerik mereka, kemudian melaporkannya kepada saya,” kata Rasulullah marah.

Rasulullah menangguhkan putusan mengenai kedua tawanan dan harta rampasan. Beliau tidak mengusiknya sementara menunggu putusan dan Allah. “Abdullah bin

2) Bulan Haram ialah bulan Dzi Qaidah, DzuI Hijjah, Muharram, dan Rajab. Dalam bulan-bulan tersebut orang Arab dilarang (haram) berperang. Jahsy dan pasukan diberhentikan. Mereka jelas bersalah karena tidak disiplin, dan bertindak di luar perintah Rasulullah. Hukuman itu menyebabkan mereka serba sulit. Kaum muslimin mencela mereka, sehingga mereka merasa dipencilkan. Kedamaian yang dinikmati ‘Abdullah sejak hijrah ke Madinah, kini bertukar dengan kegelisahan, kesedihan, penyesalan dan rasa tertekan. Bila berpapasan dengan kaum muslimin, mereka berkata mencemooh, “Inikah dia yang melanggar perintah Rasullullah ?“

Kesedihan dan penyesalan semakin mencekam ketika mereka ketahui kaum Quraisy mengambil kesempatan dari kasus tersebut. Orang-orang Quraisy meningkatkan tekanan mereka terhadap Rasulullah. Mereka menggembar-gemborkan di kalangan kabilah-kabilah Arab: “Muhammad menghalalkan bulan Haram.. Muhammad me numpahkan darah dalam bulan Haram. Muhammad merampas dan menawan....”

‘Abdullah menyadari, karena kecerobohannya dia telah memberikan senjata yang ampuh kepada kaum Qu raisy untuk merangkul kabilah-kabilah Arab bersimpati kepada mereka untuk memusuhi Rasulullah dan kaum muslimin. Bahkan dapat mengundang agresi mereka secara fisik. -

Tidak dapat dibayangkan bagaimana beratnya beban moril yang ditanggung ‘Abdullah bin Jahsy dan kawan kawan. Dia terjepit antara kawan dan lawan. Allah menguji imannya kembali dengan ujian yang tidak ringan, sampai ujian itu mencapai titik tertentu yang ditetapkan Allah. Namun begitu imannya tidak goyang. Dia selalu tobat dan istighfar kepada Allah Ta’ala. Setelah ujian itu sampai di puncaknya, padahal mereka senantiasa tobat dan istighfar, maka Allah memberi kabar gembira melalui Nabi-Nya. Allah mengampuni tindakan mereka dengan menurunkan wahyu kepada Rasulullah:

Mereka hertanya kepadainu perihal berperang pada bulan Haram. Katakanlah: Berperang dalam bulan Haram adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, menghalangi masuk Masjidil Haram dan mengusir pendnduk dari sekitarnya, lebih besar dosanya di sisi Allah. Dan membuat fiitnah lebih besar dosanya daripada memunuh. Mereka tidak akan henti-hentinya memerangi kamu sampai meeka berhasil mengembalikan kamu kepada kekafiran. seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dan agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran. maka mereka itulah orang yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. “ (Al-Baqarah, 21).

Sesudah ayat yang mulia itu turun, tenanglah hati Rasulullah. Harta rampasan disita untuk Baitul Mal. Kedua tawanan diminta wang tebusan. Beliau menyatakan setuju dengan tindakan ‘Abdullah bin Jahsy dan kawan-kawan, sesuai dengan ketentuan Allah.

Karena kasus mereka merupakan kasus besar dalam kehidupan kaum Muslimin, maka rampasan tercatat dalam sejarah Islam sebagai rampasan pertama. Musuh yang mereka tewaskan, kaum musyrik pertama yang tertumpah darahnya di tangan kaum muslimin. Tawan an mereka adalah tawanan pertama yang jatuh ke tangan kaum muslimin. Bendera pasukan mereka, bendera pertama yang diikatkan Rasulullah saw., yaitu bendera Islam. Amir (komandan) pasukan, ‘Abdullah bin Jahsy, orang pertama dipanggilkan “Amirul Mu’minin.”

Tidak berapa lama kemudian terjadi perang Badar. Ujian bagi ‘Abdullah bin Jahsy agaknya belum selesai. Dia cidera dalam perang tersebut. Sesudah itu menyusul pula perang Uhud. Suatu peristiwa yang dialami ‘Ab dullah dengan sahabatnya Sa’ad bin Abi Waqqash, merupakan kenang-kenangan yang tak dapat mereka lupakan dalam peperangan ini. Marilah kita simak cerita Sa’ad yang mengisahkan pengalamannya dengan ‘Abdullah.

Kata Sa’ad, “Ketika terjadi perang Uhud, ‘Abdullah bin Jahsy menemui saya seraya bertanya, “Tidak mendo’akah engkau?”

“Tentu...! “jawabku.

Kami berpencil ke sebuah pojok, lalu saya mendo’a:

“Ya, Rabbi! Jika saya bersua musuh, persuakanlah saya dengan orang yang .sangat jahat dan buas. Saya akan bertempur melawannya. Berilah saya kemenangan, sehingga dia tewas di tangan saya dan kurampas perlengkapannya.” -

‘Abdulllah bin Jahsy mengaminkan do’a saya. Kemu dian dia mendo’a pula;

‘Wahai Allah! Berilah saya rezki seorang musuh yang sangat jahat dan buas. Saya akan melawannya demi Engkau, tetapi kemudian dia kembali menewaskan saya. Kemudian dipotongnya hidung dan telinga saya. Bila esok saya menemui Engkau, Engkau bertanya kepada saya,





“Mengapa hidung dan telingamu buntung, hai ‘Abdul lah?” Saya menjawab, “Karena membela Agama dan Rasul Engkau!” Lalu Engkau berkata, “Shadaqta... (engkau benar).”

Kata Sa’ad selanjutnya, “Do’a ‘Abdullah bin Jahsy lebih bagus daripada do’a saya. Saya temui dia petang hri, kudapati dia telah tewas sesuai dengan do’anya. Hidung dan telinganya buntung dan digantungkan orang pada sebatang pohon dengan seutas tali.”

Allah Ta’ala memperkenankan do’a ‘Abdullah bin Jahsy. Allah memuliakannya sebagai syahid, berbareng an dengan pamannya Sayyidus Syuhada, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib. Rasulullah menguburkan mereka berdua dalam satu kuburan. Air mata Rasulullah yang suci mengalir menyirami kubur mereka, menambah harumnya darah syahid yang tertumpah melumuri jasad.

Radhiyallahu ‘anhuma. Amin!!!

Jahsy dan pasukan diberhentikan. Mereka jelas bersalah karena tidak disiplin, dan bertindak di luar perintah Rasulullah. Hukuman itu menyebabkan mereka serba sulit. Kaum muslimin mencela mereka, sehingga mereka merasa dipencilkan. Kedamaian yang dinikmati ‘Abdullah sejak hijrah ke Madinah, kini bertukar dengan kegelisahan, kesedihan, penyesalan dan rasa tertekan. Bila berpapasan dengan kaum muslimin, mereka berkata mencemooh, “Inikah dia yang melanggar perintah Rasullullah ?“

Kesedihan dan penyesalan semakin mencekam ketika mereka ketahui kaum Quraisy mengambil kesempatan dari kasus tersebut. Orang-orang Quraisy meningkatkan tekanan mereka terhadap Rasulullah. Mereka menggembar-gemborkan di kalangan kabilah-kabilah Arab: “Muhammad menghalalkan bulan Haram.. Muhammad me numpahkan darah dalam bulan Haram. Muhammad merampas dan menawan....”

‘Abdullah menyadari, karena kecerobohannya dia telah memberikan senjata yang ampuh kepada kaum Qu raisy untuk merangkul kabilah-kabilah Arab bersimpati kepada mereka untuk memusuhi Rasulullah dan kaum muslimin. Bahkan dapat mengundang agresi mereka secara fisik. -

Tidak dapat dibayangkan bagaimana beratnya beban moril yang ditanggung ‘Abdullah bin Jahsy dan kawan kawan. Dia terjepit antara kawan dan lawan. Allah menguji imannya kembali dengan ujian yang tidak ringan, sampai ujian itu mencapai titik tertentu yang ditetapkan Allah. Namun begitu imannya tidak goyang. Dia selalu tobat dan istighfar kepada Allah Ta’ala. Setelah ujian itu sampai di puncaknya, padahal mereka senantiasa tobat dan istighfar, maka Allah memberi kabar gembira melalui Nabi-Nya. Allah mengampuni tindakan mereka dengan menurunkan wahyu kepada Rasulullah:

Mereka hertanya kepadainu perihal berperang pada bulan Haram. Katakanlah: Berperang dalam bulan Haram adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, menghalangi masuk Masjidil Haram dan mengusir pendnduk dari sekitarnya, lebih besar dosanya di sisi Allah. Dan membuat fiitnah lebih besar dosanya daripada memunuh. Mereka tidak akan henti-hentinya memerangi kamu sampai meeka berhasil mengembalikan kamu kepada kekafiran. seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dan agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran. maka mereka itulah orang yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. “ (Al-Baqarah, 21).

Sesudah ayat yang mulia itu turun, tenanglah hati Rasulullah. Harta rampasan disita untuk Baitul Mal. Kedua tawanan diminta wang tebusan. Beliau menyatakan setuju dengan tindakan ‘Abdullah bin Jahsy dan kawan-kawan, sesuai dengan ketentuan Allah.

Karena kasus mereka merupakan kasus besar dalam kehidupan kaum Muslimin, maka rampasan tercatat dalam sejarah Islam sebagai rampasan pertama. Musuh yang mereka tewaskan, kaum musyrik pertama yang tertumpah darahnya di tangan kaum muslimin. Tawan an mereka adalah tawanan pertama yang jatuh ke tangan kaum muslimin. Bendera pasukan mereka, bendera pertama yang diikatkan Rasulullah saw., yaitu bendera Islam. Amir (komandan) pasukan, ‘Abdullah bin Jahsy, orang pertama dipanggilkan “Amirul Mu’minin.”

Tidak berapa lama kemudian terjadi perang Badar. Ujian bagi ‘Abdullah bin Jahsy agaknya belum selesai. Dia cidera dalam perang tersebut. Sesudah itu menyusul pula perang Uhud. Suatu peristiwa yang dialami ‘Ab dullah dengan sahabatnya Sa’ad bin Abi Waqqash, merupakan kenang-kenangan yang tak dapat mereka lupakan dalam peperangan ini. Marilah kita simak cerita Sa’ad yang mengisahkan pengalamannya dengan ‘Abdullah.

Kata Sa’ad, “Ketika terjadi perang Uhud, ‘Abdullah bin Jahsy menemui saya seraya bertanya, “Tidak mendo’akah engkau?”

“Tentu...! “jawabku.

Kami berpencil ke sebuah pojok, lalu saya mendo’a:

“Ya, Rabbi! Jika saya bersua musuh, persuakanlah saya dengan orang yang .sangat jahat dan buas. Saya akan bertempur melawannya. Berilah saya kemenangan, sehingga dia tewas di tangan saya dan kurampas perlengkapannya.” -

‘Abdulllah bin Jahsy mengaminkan do’a saya. Kemu dian dia mendo’a pula;

‘Wahai Allah! Berilah saya rezki seorang musuh yang sangat jahat dan buas. Saya akan melawannya demi Engkau, tetapi kemudian dia kembali menewaskan saya. Kemudian dipotongnya hidung dan telinga saya. Bila esok saya menemui Engkau, Engkau bertanya kepada saya,





“Mengapa hidung dan telingamu buntung, hai ‘Abdul lah?” Saya menjawab, “Karena membela Agama dan Rasul Engkau!” Lalu Engkau berkata, “Shadaqta... (engkau benar).”

Kata Sa’ad selanjutnya, “Do’a ‘Abdullah bin Jahsy lebih bagus daripada do’a saya. Saya temui dia petang hri, kudapati dia telah tewas sesuai dengan do’anya. Hidung dan telinganya buntung dan digantungkan orang pada sebatang pohon dengan seutas tali.”

Allah Ta’ala memperkenankan do’a ‘Abdullah bin Jahsy. Allah memuliakannya sebagai syahid, berbareng an dengan pamannya Sayyidus Syuhada, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib. Rasulullah menguburkan mereka berdua dalam satu kuburan. Air mata Rasulullah yang suci mengalir menyirami kubur mereka, menambah harumnya darah syahid yang tertumpah melumuri jasad.

Radhiyallahu ‘anhuma. Amin!!!

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Related Posts with Thumbnails

lazada